Sejarah Wingko Babat

Keaslian wingko babad sebagai makanan khas Kota Semarang sebenarnya masih dapat dipertanyakan. Hanya dengan melihat nama wingko babad saja sudah menimbulkan banyak tanya bagi kita. Kenapa dinamai wingko babad, bukannya wingko semarang?
Apabila dilihat dari sejarahnya, wingko babad sebenarnya bukanlah makanan asli Kota Semarang. Sejarah mencatat bahwa kue wingko berasal dari kota kecil bernama Babad yang terletak di dekat Tuban, Jawa Timur. Sejak dulu hingga sekarang, kue wingko biasa dijual di Babad. Dari sinilah kemudian kue wingko terkenal dengan nama “wingko babad”.
Pada saat ini, Babad merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Lamongan. Website resmi Kabupaten Lamongan menyebutkan bahwa wingko babad adalah salah satu makanan khas Lamongan. Hal yang sama juga terjadi di Semarang. Pemerintah Kota Semarang menyatakan bahwa wingko babad merupakan salah satu makanan khas Semarang sehingga ada dua klaim dari dua daerah (Semarang dan Lamongan) terhadap satu makanan khas yang sama, yakni wingko babad. Wingko babad di Semarang
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sejarah awal kemunculan wingko babad di Semarang sehingga pemerintah dan warga Kota Semarang mengklaim wingko babad adalah salah satu makanan khas daerahnya?
Sejarah telah mencatat bahwa wingko babad pertama kali muncul di Semarang sekitar tahun 1946. Wingko babad ini pertama kali dibawa oleh seorang wanita bernama Loe Lan Hwa bersama suaminya, The Ek Tjong (D Mulyono). Mereka beserta kedua anaknya yang masih kecil-kecil, The Giok Kwie (6 tahun) dan The Gwat Kwie (4 tahun), mengungsi dari Kota Babad ke Kota Semarang sekitar tahun 1944. Di tengah suasana panas Perang Dunia II, dari Babad yang dilanda huru-hara, mereka datang ke Semarang untuk mencari kehidupan yang lebih aman.
Pada saat mereka datang ke Semarang belum ada orang yang menjual kue wingko. Maka pada tahun 1946 mulailah Loe Lan Hwa dengan dibantu suami, The Ek Tjong, membuat dan menjual kue wingko di kota Semarang. Kue wingko tersebut dijajakan dari rumah ke rumah, di samping dititip-jual di sebuah kios sederhana yang menjual makanan di stasiun kereta api Tawang Semarang. Setiap kereta berhenti, petugas kios menjajakan kue wingko beserta makanan lainnya kepada penumpang di dalam kereta api.
Kue wingko buatan Loe Lan Hwa itu ternyata banyak disenangi warga Kota Semarang. Banyak di antara warga Kota Semarang yang menanyakan nama kue tersebut kepada Loe Lan Hwa. Maka, untuk memenuhi keingintahuan pembelinya dan sekaligus sebagai kenang-kenangan terhadap kota Babad tempat dia dibesarkan, Loe Lan Hwa menyebut kue buatannya itu sebagai wingko babad. Kue wingko babad buatan Loe Lan Hwa itu pun semakin terkenal dan dicari banyak orang sebagai oleh-oleh dari Semarang (SN Wargatjie, 2003). Dari sinilah kemudian orang mengenal kue wingko babad sebagai makanan khas Kota Semarang, walaupun sebenarnya berasal dari Babad, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Adanya klaim dari dua daerah (Semarang dan Lamongan) terhadap wingko babad sebagai makanan khas daerahnya selama ini kurang diperhatikan atau bahkan dilupakan oleh masyarakat. Meskipun terlihat agak membingungkan, kita masih bisa mengetahui tentang kebenaran klaim tersebut dengan menelusurinya dari catatan sejarah yang ada. Sejarah telah mencatat bahwa wingko babad berasal dari Babad, Kabupaten Lamongan, kemudian berkembang di Semarang karena dibawa olah warga Babad yang pindah ke Semarang.
Kebanyakan warga Kota Semarang dan Kabupaten Lamongan mungkin belum mempelajari tentang sejarah wingko babad sehingga adanya dua klaim atas wingko babad tidak begitu menimbulkan gejolak. Sampai hari ini, hubungan antara dua daerah tersebut juga baik-baik saja. Hal ini tentu berbeda dengan yang terjadi pada kasus klaim Malaysia atas beberapa produk kebudayaan Indonesia yang sempat memunculkan gejolak di tengah masyarakat.
Mengetahui sejarah awal kekhasan yang dimiliki oleh setiap daerah sangatlah penting. Ini bermanfaat bagi kita untuk menilai kebenaran suatu klaim yang dikeluarkan oleh suatu daerah terhadap kekhasan tertentu yang juga dimiliki daerah lain. Dengan mempelajari sejarah, kita juga akan dapat dengan mudah menjawab ataupun menanggapi terjadinya perebutan status atau klaim atas kepemilikan suatu produk kebudayaan antara daerah yang satu dengan yang lain.
Setiap daerah juga perlu untuk bersikap jujur terhadap sejarahnya masing-masing. Tidak ada kebanggaan bagi suatu daerah untuk mengklaim kekhasan tertentu yang sebenarnya bukan miliknya, melainkan milik daerah lain. Ketidakjujuran terhadap sejarah hanya akan menimbulkan polemik berkepanjangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NASI GORENG BUMBU KARI

Nasi goreng sosis ayam

Sejarah Es Oyen